14 Juli 2009

KERSIK LUWAY : Anggrek hitam dan misteri


PENGGEMAR anggrek pasti terpuaskan jika mengunjungi Kersik Luway. Cagar alam seluas 5.000 hektar di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, ini memiliki koleksi beragam jenis anggrek yang masing-masing memiliki kekhasan tersendiri. Uniknya, bunga anggrek ini tumbuh di hutan kerangas yang di sekelilingnya berupa hamparan pasir putih yang sangat lembut dan luasnya sekitar 20 hektar.

Hamparan pasir putih ini tidak berada di tepi pantai seperti lazimnya, tetapi justru di tengah-tengah hutan pegunungan yang luasnya 5.000 hektar dengan ketinggian sekitar 136 meter di atas permukaan laut. Di hutan kerangas inilah beragam jenis anggrek tersebut tumbuh dengan subur. Konon kabarnya, polulasi anggek terlengkap didunia berada di tempat ini.

Pada tahun 2001, saya bersama 5 kawan lain mencoba mengabadikan anggek ini dengan 3 kamera manual dan dua handycam. Pada saat yang bersamaan, seluruh peralatan tersebut macet, tidak jelas apa yang terjadi. Pemandu wisatanya yang merupakan karyawan Dinas Kehutanan Kabupaten Kutai Barat hanya terdiam.

Seorang teman saya Ricky Komul yang berasal dari Ambon, mencoba berkomunikasi dengan alam dengan berbicara pada anggrek tersebut ”Permisi, mohon ijin untuk memotret.... kami hanya akan menggunakannya untuk kebutuhan penelitian”. Setelah itu... pret.. pret.. seluruh peralatan yang tad macet tersebut berfungsi seperti semula.

Saya mencoba mencari penjelasan teknisnya. Ah.... mungkin kebetulan saja......
PERNAHKAH KAWAN-KAWAN MENGALAMI KEJADIAN YANG SAMA...???(Taryadi)

13 Juli 2009

Bahasa Sunda


Suatu pagi di kantor KLH saya kebetulan satu lift dengan dua orang bule berdasi. Yang menarik, keduanya ternyata berbicara dalam bahasa Sunda. Karena kami hanya bertiga, saya penasaran dan bertanya ”Timana kawit?” salah satunya menjawab ”Ustrali..” sambil tersenyum dan keluar di lantai 5. Pemandangan yang sangat kontras dengan kejadian 10 tahun yang lalu yang tiba-tiba terlintas, waktu saya naik KRD dari Padalarang ke Kiara Condong, seorang ibu muda yang (maaf) kelihatannya lusuh dan miskin memarahi anaknya yang ingin jajan ”Diam gak, nanti mamah cubit!!” setelah itu sang ibu muda menggerutu dengan tidak memandang ke anaknya ”keur teu boga duit teh hayoh hayang wae jajan”. Sambul menuju ke Komisi Amdal di lantai 6, saya tersenyum bangga tapi juga sedih sekaligus prihatin. 

BANGGA : karena saya adalah Orang Sunda. Pada setiap kesempatan bisa berbahasa Sunda, saya akan selalu menggunakannya, termasuk di Facebook ini dengan 90% teman Sunda juga. (Tulisan ini sengaja berbahasa Indonesia agar semua teman yang pernah komplain karena saya lebih sering berbahasa Sunda bisa memahami bahwa memang kami tidak punya maksud bersikap rasial).

SEDIH: karena banyak yang mulai meninggalkan Bahasa Sunda. Semua ibu muda dan yang setengah tua sekarang dipanggil mamah, bunda atau umi. Anak-anak kecil pun tidak mengerti Bahasa Sunda. Sewaktu saya tinggal di Bandung, anak saya tidak bisa berinteraksi di playgroupnya karena ngomongnya Bahasa Sunda. Coba lihat berapa persen spanduk, iklan dan sebagainya yang berbahasa Sunda di Kota Bandung, jantungnya Komunitas Sunda. Atau coba sesekali mendengar percakapan luar panggung pada acara-acara yang bertema ”Ngamumule Basa Sunda”, menyedihkan sekali.Dan banyak lagi. 

PRIHATIN : karena gejala-gejala seperti itu ada budayawan yang memperkirakan 200 tahun mendatang Sunda tinggal Situs. Jangan-jangan itu akan benar-benar terjadi. 

Sebagai orang Sunda, tentunya kita tidak ingin itu terjadi. Maka harus ada upaya pada berbagai lini untuk benar-benar ngamumule Bahasa Sunda, tentunya tidak sekedar membentuk komunitas formal......

Sampah Plastik


Salah satu faktor yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup yang sampai saat ini masih tetap menjadi "PR" besar bagi bangsa Indonesia adalah faktor pembuangan limbah sampah plastik. Kantong plastik telah menjadi sampah yang berbahaya dan sulit dikelola. Diperlukan waktu puluhan bahkan ratusan tahun untuk membuat sampah bekas kantong plastik itu benar-benar terurai. 

Namun yang menjadi persoalan adalah dampak negatif sampah plastik ternyata sebesar fungsinya juga. Lalu apakah anda tahu bahaya apa saja yang disebabkan kantong plastik bagi lingkungan hidup? Dibutuhkan waktu 1000 tahun agar plastik dapat terurai oleh tanah secara terdekomposisi atau terurai dengan sempurna. 

Ini adalah sebuah waktu yang sangat lama. Saat terurai, partikel-partikel plastik akan mencemari tanah dan air tanah. Jika dibakar, sampah plastik akan menghasilkan asap beracun yang berbahaya bagi kesehatan yaitu jika proses pembakaranya tidak sempurna, plastik akan mengurai di udara sebagai dioksin. Senyawa ini sangat berbahaya bila terhirup manusia. Dampaknya antara lain memicu penyakit kanker, hepatitis, pembengkakan hati, gangguan sistem saraf dan memicu depresi. 

Kantong plastik juga penyebab banjir, karena menyumbat saluran-saluran air, tanggul. Sehingga mengakibatkan banjir bahkan yang terparah merusak turbin waduk. 

Diperkirakan, 500 juta hingga satu miliar kantong plastik digunakan di dunia tiap tahunnya. Jika sampah-sampah ini dibentangkan maka, dapat membukus permukaan bumi setidaknya hingga 10 kali lipat! Coba anda bayangkan begitu fantastisnya sampah plastik yang sudah terlampau menggunung di bumi kita ini. Dan tahukah anda? Setiap tahun, sekitar 500 milyar – 1 triliyun kantong plastik digunakan di seluruh dunia. Diperkirakan setiap orang menghabiskan 170 kantong plastik setiap tahunnya.

Kantong plastik mulai marak digunakan sejak masuknya supermarket di kota-kota besar. Lebih dari 17 milyar kantong plastik dibagikan secara gratis oleh supermarket di seluruh dunia setiap tahunnya. 

Sumber : republika.co.id

Kemacetan Lalu-lintas


KEMACETAN lalu lintas di Jakarta makin hari makin parah. Ini merupakan cerminan dari ruwetnya situasi republik yang membuat para penentu kebijakan tidak bisa menyeimbangkan pemakaian/jumlah kendaraan dengan kapasitas jalan. Sistem pikir, termasuk perencanaan dan kemauan politik bangsa ini macet sehingga pembiayaan pun macet akibat macetnya sistem ekonomi, politik, dan sosial. Tidak hanya di jantung republik, kemacetan struktural akibat gagalnya otoritas kewenangan membenahi sejak dini permasalahan kota itu juga melanda kota besar lain seperti Bandung, Yogyakarta, an Surabaya.

KETIKA turun hujan, hampir seluruh titik di ibu kota negeri itu macet. Semua pengguna lalu lintas menggerutu. Lalu masalah itu muncul di media massa, ceramah, seminar, diskusi, talk show, sidang kabinet, di becak, di mikrolet, di bus kota, taksi, dan lain- lainnya. Namun tidak pernah muncul solusi yang komprehensif sehingga kemacetan makin hebat seraya menimbulkan berjuta permasalahan. Pemborosan bahan bakar, buruknya kualitas udara, kematian, hingga masalah kesetaraan hak dalam penggunaan ruang jalan yang terampas dari pengguna kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki.

Berdasarkan data di Ditlantas Polda Metro Jaya (Oktober 2003), jumlah kendaraan di DKI Jakarta tercatat 6.506.244 buah, yang terdiri dari 449.169 truk pengangkut barang, 315.559 buah bus, 3.276.890 buah sepeda motor, dan sisanya mobil penumpang. Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat, pertambahan jumlah kendaraan bermotor rata-rata 11 persen per tahun, sedangkan pertambahan jalan tak sampai satu persen per tahun. Tidak heran kalau ketimpangan prasarana jalan dengan kendaraan makin lama makin jomplang.

Di sisi lain, tidak ada sistem manajemen transportasi yang utuh dan terpadu. Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) dengan 15-20 juta penduduk, tetapi tidak ada integrasi dalam manajemen lalu lintas, kelembagaan, termasuk program pembangunan infrastrukturnya. Akibatnya tidak ada integrasi dalam pembiayaan sehingga masing-masing instansi punya program dan kegiatan yang tidak terpadu.

Bagi kota sesemrawut Jakarta, sudah tidak relevan lagi memperdebatkan tentang apa yang mau dibangun monorail, busway, jalan tol lagi atau apa pun. Sebab kota ini sudah terstruktur sedemikian rupa, terlalu banyak orang, kendaraan, kegiatan dalam kurun waktu hampir sama dalam suatu lahan sempit. 

Huhh............ kasian deh lo... gue juga.

MINIMARKET versus Ekonomi Kerakyatan


Di sebuah jalan kabupaten yang padat penghuni di perbatasan antara kota dan kabupaten Bogor yang panjangnya sekitar 4 km, terdapat 3 minimarket “I” dan 1 minimarket “A”. Jika setiap minimarket beromset rata-rata Rp. 3,- juta sehari maka keempat minimaket tersebut dapat meraup omset Rp. 4,32 milyar setahun. Apabila setiap minimarket mempekerjakan rata-rata 6 orang, maka manfaat ekonomi putaran 4,32 milyar pertahun itu hanya akan tertinggal pada 24 orang itu saja, yang tertinggalpun hanya bayaran upah yang mendekati minimum. Sisa keuntungan akan dibawa pergi ke tangan pewaralaba dan pemilik jaringan minimarket tersebut. 
Seandainya saja tidak ada minimarket-minimarket tersebut, setidaknya 90% uang masyarakat itu (Rp. 3,9 milyar) akan terbelanjakan di warung-warung sekitar rumahnya, karena sebagian kecil barang yang ada di minimarket memang biasa tidak tersedia di warung kecil. Itu berarti bahwa jika warung-warung rumahan biasa mendapatkan laba kotor rata-rata 15%, maka ada potensi keuntungan Rp. 583,2 juta bagi masyarakat yang kenyataannya terambil oleh minimarket-minimarket tersebut. 
Angka sebesar itu secara matematis bisa menghidupkan 48 warung kecil untuk keuntungan rata-rata Rp. 1,- juta sebulan. Padahal ke 24 orang yang bekerja di minimarket tersebut belum tentu mendapatkan gaji Rp. 1,- juta sebulan. Dengan demikian, kehadiran minimarket sudah mengurangi efek domino dari belanja rutin masyarakat sebesar 50%.
Pihak minimarket bukanlah pihak yang bersalah. Adanya izin pemerintah melegalkan mereka untuk masuk kemanapun mereka mau tanpa peduli adanya penurunan efek domino tersebut. Bagi mereka yang penting pencapaian omset dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya ditengah animo masyarakat yang ingin serba praktis dan modern. Tidak ada yang peduli ada sekian warung yang tiba-tiba hilang langgananya kemudian tutup hanya berselang dua bulan sejak ada minimarket di dekat lingkungannya. Sungguh kebijakan yang tidak bijak, ditengah propaganda pengembangan ekonomi kerakyatan, masyarakat malah dipersempit usahanya.
Permasalahannya adalah siapa yang peduli dengan hal itu. Hukum-hukum ekonomi pun tidak ada yang dilanggar. Setiap unit usaha memiliki hak untuk berusaha meraih keuntungan sebesar-besarnya dan konsumen merupakan pengambil keputusan penuh dalam membelanjakan uangnya. Pemerintah yang menjadi regulator ternyata tidak memberi perlindungan kepada pedagang eceran rumahan. Dalam pandangan negatif, mungkin karena warung rumahan tidak memberikan kontribusi pendapatan langsung kepada pemerintah setempat sehingga kelangsungan hidupnya tidak terpikirkan. Kehadiran minimarket sangat jelas memberikan sumbangan financial bagi pemerintah setempat. 
Jika pemerintah mengharapkan adanya multifflier effect yang tinggi dari setiap aktivitas ekonomi maka kebijakan melegalkan masuknya minimarket ke pemukiman kelas bawah harusnya ditinjau kembali. Karena efek tersebut memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga sistem ekonomi kerakyatan. Jika tidak, maka situasinya akan mengarah kepada hukum rimba, dimana pemerintah dapat membunuh rakyatnya. Bukankan Harimau Sang Raja Rimba juga memangsa binatang lain yang merupakan rakyatnya?.
Atau bisa saja kehadiran minimarket di pemukiman tetap dilegalkan tetapi dengan pajak yang tinggi sehingga memaksa pihak minimarket mematok keuntungan yang lebih tinggi sehingga harga barang yang dijual selalu lebih tinggi dibanding warung kecil. Dengan demikian konsumen akan tersegmentasi secara ekonomi. Hal ini mungkin lebih adil dalam melindungi keberlangsungan usaha kecil……

SAONEK


Salah satu poin dalam Millennium Development Goals adalah Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development yaitu usaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan. 

Pada awalnya sangat susah membanyangkan bagaimana manusia dapat menggali sumberdaya alam dengan mensisakannya buat anak cucu. Karena kenyatannya, jangankan barang tambang (sumberdaya tak terpulihkan), hutanpun yang bisa dipulihkan kabarnya ditebang secara besar-besaran, sementara proses penanaman kembalinya sangat kecil sehingga mempengaruhi keseimbangan lingkungan.

Tahun 2006 lalu, sepulang dari Pulau Waigeo, ibukota Kabupaten Raja Ampat, saya sengaja transit di Pulau Saonek, sebuah pulau kecil sebesar Kota Bogor yang merupakan salah satu cikal bakal kehidupan di kepulauan Raja Ampat tersebut. Satu-satunya penginapan yang ada disitu kebetulan penuh, sehingga untuk menunggu kedatangan kapal ke Sorong saya hanya nongkrong di dermaga dan sekitarnya.

Sore itu sangat cerah, puluhan remaja dan dewasa terlihat sedang memancing dengan mata kail berbentuk jangkar. Di bawah dermaga kayu pulau itu terlihat ribuan, mungkin jutaan ikan yang menjadi minat para pemancing tersebut. Anehnya, selama 2 hari disana tidak satupun terlihat ada yang menangkap ikan dengan jaring. 

Karena penasaran, beberapa pemancing saya tanya ”kenapa tidak dengan jaring, hasilnya pasti jauh lebih banyak..?” semua hampir memberikan jawaban yang sama, bahwa disana menggunakan jaring tidak diperbolehkan oleh masyarakat karena jika pakai jaring, ikan akan habis. 

Ah... suatu cara pandang dan jawaban yang sangat sederhana. Masyarakat Saonek, yang notabene sangat jauh dari kemodernan Jakarta, ternyata memiliki pandangan maju tentang pembangunan berkelanjutan. Mereka tidak ada yang serakah.....(Taryadi 2006)

Pulau Gebe Pasca Tambang (1)


Pulau Gebe merupakan pulau paling timur Propinsi Maluku Utara. Di pulau seluah 224 km persegi orang ini sejak tahun 1979 telah dilakukan penambangan nikel oleh PT. Aneka Tambang, karena itu kecamatan Pulau Gebe lebih berkembang daripada kecamatan lain di sekitarnya. Namun apa yang terjadi setelah tahun 2004, setelah Aneka Tambang selesai melakukan eksplorasinya dan meninggalkan Pulau Gebe? Sungguh memprihatinkan….. 

Sepertinya masyarakat BELUM SIAP untuk ditinggalkan Aneka Tambang. Tak kurang dari 800 orang pasca penutupan tambang meninggalkan pulau ini, termasuk sekitar 100 penduduk setempat setelah berhasil mengantongi pesangon dari PHK. Jumlah penduduk tetap pulau itu pun terus berkurang dari 5.600 jiwa pada akhir 2007 menjadi 4.300 jiwa pada Juni 2009.

Memang, Pemerintah Prov. Maluku Utara dan Kabupaten Halmahera Tengah berencana mengembangkan kawasan tersebut sebagai sentra industri kelautan dan pariwisata. Namun fakta di lokasi menunjukan lain. Masyarakat yang handal melaut sangat terbatas. Infrastruktur pariwisata yang dibangga-banggakan ternyata sudah tidak layak operasi lagi karena beberapat tahun tidak terpelihara. Bandara sudah rusak, lapangan golf sudah menjadi areal penggembalaan, kolam renang sudah retak dan bocor, lapang tenis dan taman kota eks kompleks perumahan karyawan Aneka Tambang sudah berubah menjadi semak belukar setengah hutan. Kini yang ditemui adalah pasar yang sepi, toko-toko yang hampir tutup dan banyak tukang ojek mantan pegawai pertambangan. Sementara investasi swasta terganjal oleh adanya penetapan status hutan lindung untuk pulau tersebut.

Dan lagi, transportasi ke sana hanya dapat dilakukan melalui kapal perintis Kieraha I, melalui jalur selatan kepulauan Halmahera dan Kieraha II melalui jalur utara dengan frekuensi masing-masing 1 bulan 3 kali. Sekali perjalanan ke pulau tersebut membutuhkan tidak kurang dari Rp. 250.000. Saat ini memang masih ada penerbangan perintis ke Ternate 2x per minggu dengan Cassa 212 kapasitas 20 penumpang, itupun mungkin segera berakhir karena bandara eks Antam tersebut tidak pernah ada perawatan.

Sungguh menjadi tanda tanya besar bagi kehidupan Pulau Gebe beberapa tahun ke depan. Roda perekonomian berputar semakin pelan dan mengecil. Seperti keluhan beberapa mantan karwanan tambang yang bingung karena tidak punya pekerjaan lagi, juga para tukang ojek yang tiba-tiba banyak pesaing (dari mantan pegawai tambang) sementara pengguna menurun drastis dan para pedagang yang semakin kekurangan pembeli...... (to be continued).

Oleh : Taryadi, Juli 2009