13 Juli 2009
Kemacetan Lalu-lintas
KEMACETAN lalu lintas di Jakarta makin hari makin parah. Ini merupakan cerminan dari ruwetnya situasi republik yang membuat para penentu kebijakan tidak bisa menyeimbangkan pemakaian/jumlah kendaraan dengan kapasitas jalan. Sistem pikir, termasuk perencanaan dan kemauan politik bangsa ini macet sehingga pembiayaan pun macet akibat macetnya sistem ekonomi, politik, dan sosial. Tidak hanya di jantung republik, kemacetan struktural akibat gagalnya otoritas kewenangan membenahi sejak dini permasalahan kota itu juga melanda kota besar lain seperti Bandung, Yogyakarta, an Surabaya.
KETIKA turun hujan, hampir seluruh titik di ibu kota negeri itu macet. Semua pengguna lalu lintas menggerutu. Lalu masalah itu muncul di media massa, ceramah, seminar, diskusi, talk show, sidang kabinet, di becak, di mikrolet, di bus kota, taksi, dan lain- lainnya. Namun tidak pernah muncul solusi yang komprehensif sehingga kemacetan makin hebat seraya menimbulkan berjuta permasalahan. Pemborosan bahan bakar, buruknya kualitas udara, kematian, hingga masalah kesetaraan hak dalam penggunaan ruang jalan yang terampas dari pengguna kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki.
Berdasarkan data di Ditlantas Polda Metro Jaya (Oktober 2003), jumlah kendaraan di DKI Jakarta tercatat 6.506.244 buah, yang terdiri dari 449.169 truk pengangkut barang, 315.559 buah bus, 3.276.890 buah sepeda motor, dan sisanya mobil penumpang. Dinas Perhubungan DKI Jakarta mencatat, pertambahan jumlah kendaraan bermotor rata-rata 11 persen per tahun, sedangkan pertambahan jalan tak sampai satu persen per tahun. Tidak heran kalau ketimpangan prasarana jalan dengan kendaraan makin lama makin jomplang.
Di sisi lain, tidak ada sistem manajemen transportasi yang utuh dan terpadu. Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) dengan 15-20 juta penduduk, tetapi tidak ada integrasi dalam manajemen lalu lintas, kelembagaan, termasuk program pembangunan infrastrukturnya. Akibatnya tidak ada integrasi dalam pembiayaan sehingga masing-masing instansi punya program dan kegiatan yang tidak terpadu.
Bagi kota sesemrawut Jakarta, sudah tidak relevan lagi memperdebatkan tentang apa yang mau dibangun monorail, busway, jalan tol lagi atau apa pun. Sebab kota ini sudah terstruktur sedemikian rupa, terlalu banyak orang, kendaraan, kegiatan dalam kurun waktu hampir sama dalam suatu lahan sempit.
Huhh............ kasian deh lo... gue juga.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar