13 Juli 2009

MINIMARKET versus Ekonomi Kerakyatan


Di sebuah jalan kabupaten yang padat penghuni di perbatasan antara kota dan kabupaten Bogor yang panjangnya sekitar 4 km, terdapat 3 minimarket “I” dan 1 minimarket “A”. Jika setiap minimarket beromset rata-rata Rp. 3,- juta sehari maka keempat minimaket tersebut dapat meraup omset Rp. 4,32 milyar setahun. Apabila setiap minimarket mempekerjakan rata-rata 6 orang, maka manfaat ekonomi putaran 4,32 milyar pertahun itu hanya akan tertinggal pada 24 orang itu saja, yang tertinggalpun hanya bayaran upah yang mendekati minimum. Sisa keuntungan akan dibawa pergi ke tangan pewaralaba dan pemilik jaringan minimarket tersebut. 
Seandainya saja tidak ada minimarket-minimarket tersebut, setidaknya 90% uang masyarakat itu (Rp. 3,9 milyar) akan terbelanjakan di warung-warung sekitar rumahnya, karena sebagian kecil barang yang ada di minimarket memang biasa tidak tersedia di warung kecil. Itu berarti bahwa jika warung-warung rumahan biasa mendapatkan laba kotor rata-rata 15%, maka ada potensi keuntungan Rp. 583,2 juta bagi masyarakat yang kenyataannya terambil oleh minimarket-minimarket tersebut. 
Angka sebesar itu secara matematis bisa menghidupkan 48 warung kecil untuk keuntungan rata-rata Rp. 1,- juta sebulan. Padahal ke 24 orang yang bekerja di minimarket tersebut belum tentu mendapatkan gaji Rp. 1,- juta sebulan. Dengan demikian, kehadiran minimarket sudah mengurangi efek domino dari belanja rutin masyarakat sebesar 50%.
Pihak minimarket bukanlah pihak yang bersalah. Adanya izin pemerintah melegalkan mereka untuk masuk kemanapun mereka mau tanpa peduli adanya penurunan efek domino tersebut. Bagi mereka yang penting pencapaian omset dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya ditengah animo masyarakat yang ingin serba praktis dan modern. Tidak ada yang peduli ada sekian warung yang tiba-tiba hilang langgananya kemudian tutup hanya berselang dua bulan sejak ada minimarket di dekat lingkungannya. Sungguh kebijakan yang tidak bijak, ditengah propaganda pengembangan ekonomi kerakyatan, masyarakat malah dipersempit usahanya.
Permasalahannya adalah siapa yang peduli dengan hal itu. Hukum-hukum ekonomi pun tidak ada yang dilanggar. Setiap unit usaha memiliki hak untuk berusaha meraih keuntungan sebesar-besarnya dan konsumen merupakan pengambil keputusan penuh dalam membelanjakan uangnya. Pemerintah yang menjadi regulator ternyata tidak memberi perlindungan kepada pedagang eceran rumahan. Dalam pandangan negatif, mungkin karena warung rumahan tidak memberikan kontribusi pendapatan langsung kepada pemerintah setempat sehingga kelangsungan hidupnya tidak terpikirkan. Kehadiran minimarket sangat jelas memberikan sumbangan financial bagi pemerintah setempat. 
Jika pemerintah mengharapkan adanya multifflier effect yang tinggi dari setiap aktivitas ekonomi maka kebijakan melegalkan masuknya minimarket ke pemukiman kelas bawah harusnya ditinjau kembali. Karena efek tersebut memiliki peran yang sangat besar dalam menjaga sistem ekonomi kerakyatan. Jika tidak, maka situasinya akan mengarah kepada hukum rimba, dimana pemerintah dapat membunuh rakyatnya. Bukankan Harimau Sang Raja Rimba juga memangsa binatang lain yang merupakan rakyatnya?.
Atau bisa saja kehadiran minimarket di pemukiman tetap dilegalkan tetapi dengan pajak yang tinggi sehingga memaksa pihak minimarket mematok keuntungan yang lebih tinggi sehingga harga barang yang dijual selalu lebih tinggi dibanding warung kecil. Dengan demikian konsumen akan tersegmentasi secara ekonomi. Hal ini mungkin lebih adil dalam melindungi keberlangsungan usaha kecil……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar